Dosen Pengampu:
Ust. Abdul Kholiq, MA
Pemakalah:
Mutiur Ridho
Muhammad
Ihsan
A. Tafsir dan Takwil
Tafsir secara etimologi, kata “tafsir” diambil
dari kata “fassara – yufassiru – tafsira” yang berarti keterangan atau uraian. Kata
“tafsir” mengikuti wazan (taf’il) yang berasal dari kata al-fasr
yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak. Tafsir menurut istilah, sebagaimana
didefinisikan Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri
sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya
tersusun serta hal-hal yang melengkapinya. Jadi tafsir adalah suatu hasil usaha
tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi
yang terdapat di dalam al- Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagai dasar utama
dalam penetapan hukum.
Secara
laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata awwala yang artinya .Ad-Dzahabi
, mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama ta’wil memilki dua pengertian :
1.Penafsirkan
suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah
penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
2.Ta’wil
adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al-
murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya
adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu
berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di
informasikan.
Dari pengertian kedua
istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna
lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud
yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat
yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu.[1]
B. Corak penafsiran
Perkembangan tafsir al-Qur’an dari
waktu ke waktu hingga masa sekarang dikenal berbagai corak penafsiran
al-Qur’an, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dan perkembangan
zaman yang melingkupinya. Setiap mufassir memiliki bidang keahlian tertentu dan
mereka menafsirkan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu-ilmu
yang dimilikinya, kemudian muncullah corak tafsir yang bermacam-macam
sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini.[2]
1. Tafsir Fiqh
Tafsir fiqh adalah corak penafsiran
al-Qur’an yang menitikberatkanbahasannya dan tinjauannya pada aspek hukum dari
al-Qur’an. Corak tafsir ini sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW. Tafsir
fiqih bersamaan dengan Tafsir bi al-Ma’tsur sama-sama di nukilkan dari
Nabi Saw, para sahabat langsung mencari keputusan hukum dari al-Qur’an dan
berusaha menarik kesimpulan dari hukum
syari’ah berdasarkan ijtihad.Hasil ijtihad yang dituangkan dalam penafsiran ini
disebut Tafsir al-Fiqhi
2. Tafsir Ilmi
Tafsir ilmiy adalah suatu ijtihad atau
usaha keras seorang mufasir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah (al-Ayat
al- Kauniyah) dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan sains modern, yang
bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an.
Corak ilmiy adalah menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an berdasarkanpendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya
berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada maka sebagian dari para ulama
mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan bidang ilmu serta hasil
kajian mereka terhadap gejolak atau fenomena alam yang terjadi pada saat
menafsirkan dan menulis kitab tafsir mereka.
3. Tafsir Sufi.
Penafsiran yang dilakukan oleh para
sufi, pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut
tidak dapat dipahami kecuali orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk
menghayati ajaran tasawuf.
4. Tafsir Sastra
Corak Tafsir Sastra adalah tafsir yang
didalamnya menggunakan kaidah-kaidah linguistik. Corak ini timbul akibat timbul
akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk Agama Islam serta akibat kelemahan
orang Arab sendiri dibidang sastra yang membutuhkan penjelasan terhadap arti kandungan
Al-Qur’an dibidang ini. Corak tafsir ini pada masa klasik
diwakili oleh zamakhsyari dengan Tafsirnya al-Kasyaf.
5. Tafsir al-Falsafi
Tafsir falsafi adalah cara penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Penafsiran ini
berupaya mengompromikan atau mencari titik temu antara filsafat dan agama serta
berusaha menyingkirkan segala pertentangan di antara keduanya.
6. Tafsir Adabi al-Ijtima’i (sosial
kemasyarakatan)
Corak tafsir Adabi al-Ijtimai adalah
corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan ketelitian
ungkapanungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan
tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya pada
tatanan sosial, seperti pemecahan
masalah-masalah umat Islam dan bangs
C. Madzahib Tafsir
Kata
madzahib adalah bentuk jamak dari kata madzhab, memiliki arti jalan yang
dilalui atau yang dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seorang. Menurut para
ulama, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian. Dengan kata lain, madzhab adalah aliran
pemikiran berisi tentang hasil-hasil ijtihad, berupa penafsiran atau pemikiran
para ulama dengan metode dan pendekatan tertentu, yang kemudian dikumpulkan dan
biasanya diikuti oleh orang-orang berikutnya.
Al-Qur’an
itu kebenarannya adalah mutlak, sebab ia berasal dari Tuhan Dzat yang Mutlak.
Namun demikian, setelah yang mutlak itu masuk dalam pemikiran manusia, ia menjadi relatif
kebenarannya. Sebab tidak mungkin yang relatif itu –yaitu pemikiran manusia-
akan mampu menangkap yang seratus persen dari yang mutlak tersebut. Dengan
demikian, di sana masih ada kebenaran-kebenaran lain atau makna-makna lain yang
mungkin belum tertangkap oleh manusia. Dari sini, muncullah keragaman
pemahaman. Adanya keragaman penafsiran tersebut oleh para ulama (peneliti)
berikutnya dikelompok-kelompokan menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut
dengan madzahib at-Tafsir.
D. Sejarah Madzahib Tafsir
Kalau kita membicarakan mengenai sejarah mazhab tafsir, maka nama yang
akan muncul pertama kali adalah Ignaz Goldziher, sebagai pencetus mazhab tafsir
pertama. Walaupun tidak didefinisikan secara eksplisit. Namun, berdasarkan
tema-tema pembahasan yang ada di dalamnya, tampak jelas mazhab tafsir merupakan
aliran-aliran, mazhab-mazhab yang dipilih seorang mufasir ketika ia berusaha
menafsirkan Alquran meskipun secara tidak langsung para mufassir tidak
menamakan pada karyanya sebagai sebuah mazhab tertentu. Pemberian label mazhab
ini dilakukan oleh para peneliti atau ulama di generasi berikutnya.
Dalam catatan sejarah adanya beberapa perbedaan penafsiran, tidak hanya di era abad pertengahan dan modern ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang, akan tetapi juga sejak era klasik (era Nabi,Sahabat,Tabi’in dan al-Tabi’in). Hanya saja pada era klasik ini perbedaan penafsiran relatif masih sedikit, sebab secara umum tafsir yang berkembang pada masa itu adalah tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir yang didasarkan pada riwayat dari Nabi saw, pendapat para sahabat, atau kalangan para tabi’in terkemuka.
Adanya keragaman penafsiran tersebut, maka kemudian para ulama mengkelompokkannya menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut dengan Madzahib al-Tafsir. Adapun pembagian kelompok tersebut secara umum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, faktor internal yang menyatakan di dalamnya terdapat kondisi objektif teks Alquran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, sehingga muncul penafsiran yang berbeda, terutama perbedaan bacaan yang terkait dengan aspek morfologi (sharaf), sintaksis (nahwu), dan masih banyak lagi. Kedua, faktor eksternal yang berisikan terdapat beberapa faktor yang berada di luar teks Alquran, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupi para mufasir sendiri dan juga para pembacanya. Termasuk dalam faktor eksternal juga yaitu kondisi sosio-kultural, konteks politik, paradigma, sumber dan metodologi yang dipakai dalam menafsirkan Alquran.
Dalam catatan sejarah adanya beberapa perbedaan penafsiran, tidak hanya di era abad pertengahan dan modern ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang, akan tetapi juga sejak era klasik (era Nabi,Sahabat,Tabi’in dan al-Tabi’in). Hanya saja pada era klasik ini perbedaan penafsiran relatif masih sedikit, sebab secara umum tafsir yang berkembang pada masa itu adalah tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir yang didasarkan pada riwayat dari Nabi saw, pendapat para sahabat, atau kalangan para tabi’in terkemuka.
Adanya keragaman penafsiran tersebut, maka kemudian para ulama mengkelompokkannya menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut dengan Madzahib al-Tafsir. Adapun pembagian kelompok tersebut secara umum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, faktor internal yang menyatakan di dalamnya terdapat kondisi objektif teks Alquran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, sehingga muncul penafsiran yang berbeda, terutama perbedaan bacaan yang terkait dengan aspek morfologi (sharaf), sintaksis (nahwu), dan masih banyak lagi. Kedua, faktor eksternal yang berisikan terdapat beberapa faktor yang berada di luar teks Alquran, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupi para mufasir sendiri dan juga para pembacanya. Termasuk dalam faktor eksternal juga yaitu kondisi sosio-kultural, konteks politik, paradigma, sumber dan metodologi yang dipakai dalam menafsirkan Alquran.
Dalam buku MadzahibTafsir, karya Abdul
Mustaqim banyak membahas tentang mazhab-mazhab tafsir yang sudah berkembang
selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang
membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi
mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula
yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya,
sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya.
Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya,
sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi ijtimai’ dan
lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran
manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang
periode mitologis, ideologis, dan ilmiah.
3. Signifikansi
Kajian terhadap madzahibut tafsir, secara
aksiologis, memeiliki arti yang sangat penting, terutama bagi mahasiswa,
peminat studi Alquran dan umat Islam. Mengkaji madzahibut tafsir berarti juga
mengkaji sejarah pertumbuhan dan perkembangan penafsiran tafsir, serta meneliti
bagaimana seseorang memahami dan menafsirkan Alquran. Bagi umat Islam,
mengetahui sejarah, apalagi sejarah yang terkait dengan generasi dari masalalu
hingga sekarang tentang kajian dan pemahaman mereka terhadap Alquran, merupakan
langkah yang sangat strategis bagi pemberdayaan umat.
Dengan
mengkaji madzahibut tafsir, seseorang pengkaji akan banyak memperoleh informasi
tentang berbagai ragam, corak, dan kecenderungan seseorang ketika ia
menafsirkan Alquran.
Signifikansi
kajian terhadap madzahibut tafsir bagi kemajuan dan keberdayaan umat Islam,
antara lain, sebagai berikut:
1.
Membuka
wawasan dan menumbuhkan sikap toleran terhadap berbagai corak penafsiran
Alquran. Seseorang yang tekun dan serius dalam mengkajimadzahibut tafsir
cenderung menjadi orang yang terbuka dan luas wawasannya karena ia lebih banyak
mengetahui beragam corak penafsiran yang berkembang.
2. Mengembangkan dan
menyadarkan adanya pluralitas dalam penafsiran Alquran. Lebih-lebih ketika isu
pluralisme menjadi sesuatu yang sangat populer, dan terus digulirkan. Dalam hal
ini, kajian terhadap berbagai aliran dan corak pemikiran penafsiran Alquran
akan menyadarkan seseorang tentang betapa penting pemahaman terhadap pluralitas
yang merupakan sunnatullah dalam kenyataan hidup.
Orang
yang menyadari adanya pluralitas niscaya tidak akan mengklaim bahwa dirinyalah
sebagai satu-satunya pemegang otoritas kebenaran. Bagaimanapun, klaim kebenaran
(truth claim) akan menyebabkan seseorang menjadi eksklusif dan tidak terbuka
atas kritik atau memahami pemikiran diluar dirinya. Sah-sah saja melakukan
truth claim, namun sikap terbuka merupakan sebuah proses yang panjang,
simultan, dan tidak boleh mengenal titik-henti.
Melalui
kajian madzahibtu tafsir, seseorang akan bisa melihat betapa banyak
ragam penafsiran orang dalam memahami Alquran yang diklaim sebegai kebenaran
mutlak. Padahal antara penafsiran Alquran adalah pemilik kebenaran mutlak
karena Ia berasal dari sisi Ilahi (Yang Mahamutlak), tetapi penafsiran Alquran
bersifat relative dan nisbi karena ia berasal dari makhluk yang serba nisbi.
3. Menghindarkan
sikap taqdis al-afkar. Pentingnya studii madzhibut tafsir adalah untuk
menghindari sikap taqdisul afkar ad-diniyyah (pensakralan pemikiran keagamaan),
termasuk mensakralkan penafsian orang tentang Alquran.
Namun,
ketika Alquran dipahami dan didereflesikan oleh pemikiran manusia, sesungguhnya
ia tidak lagi dalam posisi sacral. Ia sudah berubah menjadi pemikiran yang
bersifat relative dan tidak perlu disakralkan yang karennaya nyaris tidak
dikritik sama sekali.[3]
Sebagai
sebuah ilmu, tafsir tidak perlu dan tidak boleh menjadi keinginan untuk
mengembangkan menjadi lebih baik. Atas dasar inilah kemunculan tradisi untuk
menyampaikan kritik konstruktif terhadap produk-produk pemikiran tafsir
dianggap kurang relevan dengan situasi-kondisi zamannya.
KESIMPULAN
Madzahibut tafsir adalah
aliran-aliran, madzab-madzab,kecenderungan, kecenderungan yang dipilih
oleh seorang muffasir al-Qur’an. Kajian ilmu ini adalah menguraikan tentang
tokoh-tokoh ahli tafsir dan tafsir, serta biografi penulis tafsir,
metodologi maupun corak dan karakteristik penafsirannya. Objek material dari
kajian madzahibut tafsir adalah data-data sejarah berupa produk-produk tafsir
dan sejarah penulisannya yang sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad Saw.
hingga kini. Objek formal dari kajian madzahibut tafsir adalah
kecenderungan, corak, aliran-aliran, pendekatan-pendekatan penafsiran yang
muncul sejak Alquran itu ditafsirkan dan dikonsumsi oleh para mufassir dan umat
Islam.
Daftar Pustaka
-
Goldzier,
Ignaz. 2010.”Madzab Tafsir”.Depok: Elsaq Press
-
As-Shabuni,
Muhammad Ali. 2003. “At-Tibyan fi Ulum Al-Quran”. Jakarta : Dar-al Kutub
-
Al-Qathan,
Manna. 2005. “Pengantar Studi Ilmu Al-Quran”. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
-
Surur, Misbahus .2011. Metode
dan corak Tafsir Faidh Ar-Rahman karya Muhammad Shaleh Ibn Umar As-Samarani
(1820 – 1903 M) . Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo.
-
http://nengberbagi.blogspot.co.id/2015/01/madzhab-tafsir.html
Komentar
Posting Komentar