Langsung ke konten utama

Makalah Tafsir Tematik Zakat



Dosen Pengampu:
Ust.  Ansor Bahary, MA

Pemakalah:
Muhammad Ihsan

A. Pengertian Zakat
            Secara bahasa, kata zakat punya beberapa makna, antara lain bermakna kesucian[1], pujian (تزكية)[2], bertambah (الزيادة), tumbuh (النّماء), perbaikan[3] dan barakah atau keberkahan (بركة).[4]
            Sedangkan zakat dari segi istilah fikih berarti “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak” disamping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut Wahidi “zakat itu nama bagi pengambilan tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu, untuk diberikan kepada golongan tertentu.”[5]Dari mazhab-mazhab ulama yang empat, kita menemukan definisi zakat dalam kitab-kitab muktamad mereka, dengan definisi dan batasan yang berbeda-beda. Dalam kitab Maraqi al-Falaq dan Ad-Dur Al-Mukhtar,  Mazhab Al-Hanafiyah mempunyai batasan tentang istilah zakat dengan definisi berikut
Pemilikan bagian harta tertentu dari harta tertentu kepada orang-orang tertentu yang telah ditetapkan pembuat syariah (Allah) dengan mengharapkan keridhaan-Nya.”
Definisi dari al-Hanafiyah ini memang terasa masih agak kurang spesifik, karena hanya menyebutkan bahwa unsur unsurnya harus khusus, tanpa menyebutkan apa yang dimaksud dengan khusus itu sendiri.
Definisi zakat dalam mazhab Al-Malikiyah sudah agak lumayan lengkap. Intinya mazhab ini menekankan keharusan adanya nishab dan kesempurnaan status kepemilikan harta dari orang yang mengeluarkan zakat serta ketentuan adanya haul (putaran setahun) yang harus dilewati, sebelum zakat dikeluarkan. Bahkan mazhab ini juga menekankan sumber harta yaitu dari barang tambang dan sawah. Dalam kitab Asy-Syarhul Kabir, zakat didefinisikan sebagai berikut:
Mengeluarkan sebagian tertentu dari harta yang telah mencapai nishab kepada mustahiq, bila sempurna kepemilikannya dan haulnya selain barang tambang dan sawah.
Dalam kitab Al-Mughni, Mazhab Asy-Syafi'iyah mendefinisikan zakat secara
istilah dalam fiqih sebagai :
Nama untuk sesuatu yang dikeluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu.
Sedangkan Al-Hanabilah mendefinisikan:
Hak yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu pada waktu tertentu.[6]


B. Tafsir Ayat tentang Zakat
            1. Al-Baqarah 43
وَأَقِيمُواْ الصلاة وَءَاتُواْ الزكواة واركعوا مَعَ الراكعين
Dan dirikanlah salat, bayarkan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk
Ayat ini bisa maksudnya memerintahkan orang-orang Yahudi untuk masuk ke dalam Islam dengan mengerjakan shalat secara benar dan menunaikan zakat sehingga mereka tergolong orang-orang yang ruku', yakni tergolong ummat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada juga yang menafsirkan ayat "dan ruku'lah beserta orang yang ruku'" adalah perintah mengerjakan shalat berjama'ah dan ada pula yang mengartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama orang-orang yang tunduk. Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menerangkan wajibnya shalat berjama'ah, yaitu dari ayat "dan ruku'lah beserta orang yang ruku'", yakni shalatlah beserta orang yang shalat. Disebutnya shalat dengan ruku' menunjukkan bahwa ruku' merupakan rukun shalat, dan tidak dinamakan shalat jika tidak ada ruku'nya. Disebutkan bagian dari gerakan shalat, yaitu ruku' untuk shalat menunjukkan wajibnya ruku'.[7]

Al-Maududi menjelaskan, Sholat dan Zakat selalu menjadi unsur penting dari agama Islam. Sebagaimana Nabi-Nabi yang lain, para Nabi dari Bani Israil juga secara tegas memerintahkan hal ini, namum orang-orang Yahudi mengabaikan perintah mereka sepenuhnya. Mereka tidak mampu melaksanakan shalat secara berjamaah bahkan sebagian dari mereka tidak melakukannya secara Individu. Alih-alih membayar zakat, mereka justru menarik bunga atas uang mereka.
Di dalam Al-Quran, kata zakat yang bermakna zakat disebut sebanyak 31 kali, sebanyak 27 kali diantaranya disebut bersamaan dengan kata shalat. Dan satu kali disebutkan setelah shalat tetapi tidak satu ayat[8] Penyebutan ini sekaligus menunjukkan kewajiban zakat sama dengan kewajiban shalat.[9] Sebagaimana pula ditegaskan dalam hadist Nabi:
" بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ" متفق عليه
"Islam didirikan diatas lima dasar: Mengikrarkan bahwa tidak ada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah utusan Alloh, mendirikan sholat, membayar zakat, menunaikan haji, dan berpuasa pada bulan Romadhon"
Di antara shalat dan zakat digabung dengan wawu ‘athaf dengan fungsi لمطلق الجمع yang menunjukkan bahwa antara dua kalimat tersebut tidak bisa dipisahkan atau diprioritaskan satu sama lain. Artinya, tidak ada shalat tanpa zakat dan tidak ada zakat tanpa shalat.
Di dalam sholat terdapat pensucian jiwa dan di dalam zakat terdapat pensucian harta. Keduanya menunjukkan ungkapan rasa syukur terhadap Allah atas nikmat yang telah diberikan. Zakat  ditandai dengan terealisasikannya ajaran saling tenggang rasa dan bersosiali antar umat manusia, yang kaya membutuhkan yang miskin, yang miskin juga membutuhkan yang kaya.[10]

Perangkaian antara sholar dan zakat dalam Al-Quran juga bukan semata-mata menunjukkan salah satu bentuk rukun Islam. Perangkaian ini memiliki perspektif yang lebih luas. Kalimat “mendirikan sholat” bisa dipahami sebagai bentuk hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan kalimat “menunaikan zakat” sebagai manifestasi hubungan horizontal antara sesama manusia. Sebagai makhluk rohani, salat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan sebagai makhluksosial, manusia butuh kehadiran pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.


            2. Ad-Dzariyat 19
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Ibnu Katsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan saail adalah orang yang langsung mengajukan permintaan sebagaimana sabda Nabi:
لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ
“Bagi orang yang meminta itu ada hak, meskipun ia datang dengan menunggang kuda”
Sedangkan mengenai kata Al-Mahrum Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang bernasib buruk yang tidak mendapatkan bagian dalam Islam, yaitu mereka yang tidak mendapatkan bagian di baitul maal, tidak mempunyai usaha, dan tidak pula mempunyai keahlian untuk mencari nafkah[11]. Quraish Shihab mengatakan yang dimaksud Al-Mahrum adalah orang yang membutuhkan  tetapi tidak mengulurkan tangan untuk meminta. Adapun Muhammad Assad memaknainya sebagai “Sesuatu yang mungkin menderita kemalangan” dan hal ini berlaku untuk semua makhluk hidup baik manusia ataupun hewan, terlepas apakah kebutuhannya berupa  jasmani ataupun rohani.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan haqqun pada Adz-Dzariyat ayat 19 adalah haqqun ma’lum (berdasarkan surah Al-Maarij ayat 24-25) yaitu zakat yang diwajibkan, bagi semua yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapat dan dicari jika telah memenuhi syarat nisab zakat maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Bersamaan dengan nash-nash tentang zakat yang bersifat umum lainnya seperti At-Taubah ayat 103 dan Al-Baqarah ayat 267, para ulama menjadikannya sebagai hujjah adanya zakat profesi.
Sayyid Quthub dalam tafsirnya fi Zhilalil Qur’an ketika menafsirkan tiga ayat tersebut menyatakan bahwa nash-nash itu mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula hasil pertanian, juga pertambangan seperti minyak. Nash ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah saw maupun zaman sesudahnya. Semua ini menurut Sayiid Quthub wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan kadar yang telah ditentukan oleh hukum syara’ baik secara langsung maupun dikiaskan kepadanya.



3. At-Taubah 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menerangkan tentang golongan-golongan yang berhak menerima zakat, Sedekah di sini diartikan sebagai zakat, karena sedekah sunat tidak hanya ditujukan kepada delapan golongan ini. As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain memberikan penjelasan sebagai berikut:
·         Fakir yaitu mereka yang tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat mencukupi mereka
·         Miskin yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat mencukupi mereka
·         Amilin yaitu orang yang bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya, juru tulisnya, dan yang mengumpulkannya
·         Muallaf supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum Muslimin. Mualaf itu bermacam-macam jenisnya; menurut pendapat Imam Syafii jenis mualaf yang pertama dan yang terakhir pada masa sekarang (zaman Imam Syafii) tidak berhak lagi untuk mendapatkan bagiannya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua jenis mualaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak untuk diberi bagian. Demikianlah menurut pendapat yang sahih
·         Riqob yaitu orang yang memerdekakan budak
·         Gharimin orang-orang yang mempunyai utang, dengan syarat bila ternyata utang mereka itu bukan untuk tujuan maksiat; atau mereka telah bertobat dari maksiat, hanya mereka tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya, atau diberikan kepada orang-orang yang sedang bersengketa demi untuk mendamaikan mereka, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan
·         Fi Sabilillah yaitu orang-orang yang berjuang di jalan Allah tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan
·         Ibnu Sabil yaitu yang kehabisan bekalnya
Quraish Shihab menjelaskan, bahwa Zakat adalah sebuah ketentuan untuk mengumpulkan harta dari orang kaya untuk didistribusikan kepada fakir miskin. Harta yang didistribusikan itu sebenarnya adalah hak fakir miskin yang terdapat dalam harta orang kaya. Pengumpulan dan distribusi zakat dilakukan oleh pemerintah untuk orang orang yang berhak menerima (mustahik), terutama dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Zakat dapat didistribusikan kepada fakir, miskin, orang yang sedang berada dalam perjalanan. Selain itu, zakat dapat juga dimanfaatkan untuk pinjaman, atau untuk kepentingan sosial seperti membayarkan utang orang yang tidak mampu membayar. Pada masa awal sejarahnya, dalam masyarakat Islam sangat jarang ditemukan orang yang kelaparan dan mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidupnnya. Karena begitu banyaknya zakat yang terkumpul, sampai-sampai amil zakat mengeluh tidak menemukan orang yang akan diberi zakat. Diriwayatkan, bahwa seorang amil zakat di wilayah Afrika mengeluh kepada Khalîfah 'Umar ibn 'Abd al-'Azîz karena dia tidak menemukan seorang fakir yang akan diberi zakat. 'Umar lalu berkata kepadanya, "Bayarkan utang orang-orang yang berutang." Amil zakat itu pun kemudian melaksanakan perintah itu, tetapi kemudian mengeluh lagi. 'Umar pun berkata, "Beli dan tebuslah budak, karena hal ini termasuk salah satu cara pembagian zakat." Sebenarnya, apabila zakat itu dikumpulkan kemudian dikeluarkan pada jalannya, maka akan terlihat dari penerapannya itu bahwa zakat adalah bentuk sistim takâful ijtimâ'iy yang paling agung.[12]


Daftar Pustaka
·         Sarwat, Ahmad.2011. Fiqh Kehidupan - Zakat . Jakarta : DU Publishing .
·         Rofii Hararap, Ahmad.2015. Pendapat Abu Hanifah Tentang Kewajiban Membayar zakat Pada tanah Sewa  . Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo.
·         Bin Abdurrahman bin Ishaq. Abdullah bin Muhammad.   Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir (Terjemah: M.Abdul Ghoffar). Jakarta : Pustaka Imam Syafii. Jilid 7.
·         Ghazali, Moqsith & Ummi Kaltsum, Lilik.2015. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam . Jakarta : UIN Press. Hal. 34 
·         Az-Zuhaili, Wahbah. 1418 H. Tafsir Al-Munir. Damaskus : Dar Al-Fikr. Jilid 1
·         https://tafsirq.com/9-at-taubah/ayat-60#tafsir-quraish-shihab



[1] QS. Asy-Syams ayat.9
[2] QS. An-Najm ayat 32
[3] QS. Al-Kahfi ayat 81
[4] Ahmad Sarwat.2011. Fiqh Kehidupan - Zakat . Jakarta : DU Publishing .hal 25
[5] Ahmad Rofii Hararap.2015. Pendapat Abu Hanifah Tentang Kewajiban Membayar zakat Pada tanah Sewa  . Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo.hal 39
[6] Ahmad Sarwat.2011. Fiqh Kehidupan - Zakat . Jakarta : DU Publishing .28-29
[7] Abu Yahya Marwan bin Musa. Tafsir Hidayatul Insan . tafsir.web.id . hal. 24
[8] Lihat QS 23 ayat 2-4
[9] A. Moqsith Ghazali & Lilik Ummi Kaltsum.2015. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam . Jakarta : UIN Press. Hal. 34 
[10] Wahbah Az-Zuhaili. 1418 H. Tafsir Al-Munir. Damaskus : Dar Al-Fikr. Jilid 1 Hal.147
[11]Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq.   Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir (Terjemah: M.Abdul Ghoffar). Jakarta : Pustaka Imam Syafii. Jilid 7.Hal 535
[12] https://tafsirq.com/9-at-taubah/ayat-60#tafsir-quraish-shihab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian & Urgensi Madzhab Tafsir

Dosen Pengampu: Ust.   Abdul Kholiq, MA Pemakalah: Mutiur Ridho Muhammad Ihsan A. Tafsir dan Takwil           Tafsir secara etimologi, kata “tafsir” diambil dari kata “ fassara – yufassiru – tafsira ” yang berarti keterangan atau uraian. Kata “tafsir” mengikuti wazan ( taf’il) yang berasal dari kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya. Jadi tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam al- Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagai dasar utama dalam penetapan hukum. Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata aww