Langsung ke konten utama

Cita-Cita Luhur Bangsa yang Belum Terwujud

Jika dilihat ke belakang , semangat bangsa Indonesia yang ingin sekali memperoleh kemerdekaan puluhan tahun yang silam adalah sebuah keinginan yang teramat luhur, tak ada kekuatan manapun di muka bumi yang dapat menghalanginya. Dipelopori oleh kaum nasionalis idealis sebagai para bapak bangsa, maka pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sekalipun Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakuinya.

Suasana antusiasme batin rakyat saat itu sungguh luar biasa. Ali Sastroamidjojo, misalnya, menggambarkan suasana proklamasi itu dalam kutipan di bawah ini:

"Reaksi kami sukar saya gambarkan di sini. Isteri saya yang tidak sering saya melihat menangis, waktu itu tiba-tiba duduk diam-diam seperti orang termenung dan air mata bertetesan dari matanya. Saya pun merasa sangat terharu. Bermacam-macam kenangan dari zaman yang lampau timbul di pikiran saya. Indonesia merdeka! Kata-kata yang melambangkan cita-cita bangsa kita dan yang sudah begitu lama kita perjuangkan dengan penuh penderitaan dan pengorbanan sudah menjadi kenyataan! Bangsa kita, negara kita sudah merdeka."

"Bermacam macam emosi timbul di hati saya. Rasa gembira bercampur dengan rasa sedih. Gembira karena saya masih diperkenankan Tuhan untuk mengalami cita-cita bangsa kita tercapai, dan sedih karena ingat pada kawan -kawan seperjuangan yang tidak ada lagi di antara kita dan tidak bisa menikmati hasil dari perjuangan dan pengorbanan mereka."

Itulah sekadar kilas balik saat bangsa kita merayakan kemerdekaan. Banyak cita-cita luhur bangsa yang sudah yang sudah dicapai setelah berpuluh-puluh tahun merdeka, tetapi masih banyak pula yang belum diwujudkan khususnya tegaknya keadilan dan terciptanya kesejahteraan merata untuk seluruh rakyat.
Masalah keadilan dan kemanusiaan juga tertuang pada Pancasila sila ke 2 "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", serta sila ke 5 "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Dari situ dapat diketahui bahwa terwujudnya keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi cita-cita para pendiri bangsa sejak awal mula negara ini terbentuk.

Sila kedua merupakan cerminan watak bangsa Indonesia secara personal yang diterapkan secara lebih luas dalam kehidupan bangsa, termasuk oleh para penyelenggara negara. Secara umum nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keadaban itu sebenarnya masih melekat dalam benak bangsa Indonesia.
Sila kelima menjadi dasar dari  hak-hak sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini, berusaha menjamin bahwa setiap individu Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan yang berkeadilan, pembangunan, dan pendidikan yang merata.

Namun, pada kenyataannya cita-cita nan luhur tersebut masih belum sepenuhnya terlaksana, Manusia Indonesia banyak yang sudah kehilangan kemanusiaannya, diwakili dengan banyaknya angka kejahatan kejam yang terjadi. Penindasan terhadap kaum minioritas masih marak terjadi. Hakim dan jaksa banyak yang berpihak pada mereka yang bersedia membayar, nilai-nilai kesopanan dan akhlak pun banyak yang mulai memudar.

Selain itu, kesenjangan sosial antarmasyarakat masih sangat marak terjadi. Angka kemiskinan masih sangat tinggi, di tengah-tengah kemakmuran melimpah bagi segolongan kecil. Pertumbuhan ekonomi sama sekali tidak berbanding lurus dengan proses pemerataan. Inilah di antara masalah besar yang harus dijawab oleh pemerintah . Rakyat pun harus mau bekerja keras dengan disiplin yang tinggi.

Walaupun demikian, tidak dibenarkan pendapat yang mencap 'gagal' Pancasila sebagai dasar negara seperti yang disuarakan suatu kelompok masyarakat. Karena, semua tergantung pada Individu masing-masing. Jika segenap bangsa Indonesia mampu menerapkan Pancasila dalam kehidupannya. Bukan tidak mungkin, suatu saat cita-cita nan luhur tersebut dengan pertolongan Tuhan akan segera terwujud.

Sumber:



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian & Urgensi Madzhab Tafsir

Dosen Pengampu: Ust.   Abdul Kholiq, MA Pemakalah: Mutiur Ridho Muhammad Ihsan A. Tafsir dan Takwil           Tafsir secara etimologi, kata “tafsir” diambil dari kata “ fassara – yufassiru – tafsira ” yang berarti keterangan atau uraian. Kata “tafsir” mengikuti wazan ( taf’il) yang berasal dari kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya. Jadi tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam al- Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagai dasar utama dalam penetapan hukum. Secara ...

Makalah Tafsir Tematik Zakat

Dosen Pengampu: Ust.   Ansor Bahary, MA Pemakalah: Muhammad Ihsan A. Pengertian Zakat             Secara bahasa, kata zakat punya beberapa makna, antara lain bermakna kesucian [1] , pujian ( تزكية ) [2] , bertambah ( الزيادة ), tumbuh ( النّماء ), perbaikan [3] dan barakah atau keberkahan ( بركة ) . [4]             Sedangkan zakat dari segi istilah fikih berarti “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak” disamping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut Wahidi “zakat itu nama bagi pengambilan tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu, untuk diberikan kepada golongan tertentu.” [5] Dari mazhab-mazhab ulama yang...